TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Resensi Video ART

Penulis               : David Fernandez
Tahun Karya     : 2021
Durasi Karya     : 7 Menit
Penampil            : David Fernandez & Echa Risky
PEMBUKA
David Fernandez lahir di Lampung ( Indonesia) 5 November 1999. Kebetulan, David masih kuliah di Yogyakarta, mengambil jurusan teater. David aktif di dunia sejak 2017 hingga sekarang. Karya David biasanya dalam bentuk performance art, video art, dan body theatre. (terjemahan google dari softfile deskripsi karya pulang_Latar Belakang Pengkarya).
Karya seni ini menceritakan tentang rangkuman fenomena yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia sendiri, fenomena seperti banjir dan kecelakaan pesawat telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan kejadian tersebut selalu terjadi di awal tahun.
Dalam hal ini, saya juga berpendapat bahwa manusia zaman sekarang harus kembali introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan terhadap alam yaitu Ibu Pertiwi dan Bapa Surgawi karena alam telah menjaga kehidupan manusia hingga saat ini.
Akhirnya, di benak kita muncul pertanyaan. Inikah yang coba disampaikan oleh para leluhur bahwa kita harus menjaga dan melindungi alam semesta. Seperti di Indonesia, para leluhur selalu melakukan upacara adat sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada alam semesta. saat ini upacara seperti itu sudah hampir ditinggalkan karena perkembangan zaman dan generasi muda merasa pemikiran seperti itu sudah sangat ketinggalan zaman di zaman sekarang ini.
KARYA SENI ini saya persembahkan sebagai doa di awal tahun 2022 agar tidak terjadi lagi fenomena bencana alam seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. (terjemahan google dari softfile deskripsi karya pulang_Deskripsi Karya Pulang).
ISI
Seni video atau lebih familiar dengan nama “Video Art”, belum berusia satu abad di Indonesia, artinya belum berusia tua dan akan berkelanjutan dalam proses ekspansi pengetahuan secara ekstensif. Video art juga merupakan cetusan dari gerakan seni radikal eropa dan amerika yang menolak kemapanan seni yang dianggap eksklusif, kemungkinan akar dari video art ini bermula pada kemunculan “Performance Art” di eropa dan amerika sekisar tahun 1960-an. Indonesia mendapatkan cipratan gerakan tersebut sekisar tahun 1970-an dan diprakarsai oleh inisiator-inisiator seni rupa baru. Video art diramu untuk mengkombinasikan dua elemen yakni manusia dan teknologi. Keduanya berupaya saling berintegrasi untuk mencapai koherensi karya seni. (Serapan Dari Teks : Livina Veneralda, 01.05.18, whiteboard Journal: https://www.whiteboardjournal.com/ideas/mengenal-kemunculan-dan-perkembangan-performance-art-di-indonesia/ )
Karya video art berjudul “Pulang” ini, didalangi oleh David Fernandez yang merespon bencana banjir dan terjatuhnya pesawat sriwijaya air SJ182 yang terjadi di awal tahun 2021, dua peristiwa tersebut menyentil sensibilitas pengkarya. Sentuhan subtil itu dijadikan prawacana pada karya yang diulas ini. Sehingga, kausalitas yang muncul dalam permukaan ialah ruang proses kreatif. Sungguh tak lengkap jika elemen dasar konstruksinya tidak dibahas. Elemen ini menunjukan kehadiran artistik yang saling bertautan.
Pembahasan artistik juga akan diklasifikasikan menjadi dua bagian, pertama artistik pada performer dan artistik diluar performer. Artistik pada performer memuat beberapa unsur, terdiri dari: tubuh, topi baret warna merah, kaos semi-thaiday, celana sarung warna hitam, kaos putih polos, celana kain panjang warna hitam dan kacamata. Sedangkan artistik diluar performer yaitu benang warna merah, pesawat kertas, baki warna biru, gelas plastik berisi air berwarna merah, tumpukan batu kecil yang sebagian sisi berwarna merah, benda tegak di atas tutup botol warna biru, baskom besi berisi air, cairan warna merah, bak sedang berwarna hijau muda, galon yang berisi air serta kamera sebagai perekam videonya.
Ruang yang dijadikan lokasi pengambilan gambar bergerak tersebut Nampak taman area kota, lalu dipertegas oleh David bahwa tempat itu dinamakan proscenium mini di Bangka Belitung. Waktu pun terlihat di sore hari yang juga ditandai oleh bunyinya adzan mangrib dari masjid sekitar, penegasan ruang dan waktu itu juga disampaikan oleh pengkaryanya sendiri.
Karya tersebut juga meminimalisir bahasa ucap dan condong mengarah pada bahasa sikap yang dimediasi oleh tubuh dengan balutan motif gerak yang simbolik. Kedua performer mengawalinya menggunakan benda di luar artistik tubuhnya untuk penghantar narasi yang diusungnya. Satu performer berupaya menggambarkan pra-peristiwa sampai gejala yang dialami pesawat sriwijaya air SJ182 dan satunya menggambarkan gejala banjir. Keduanya, berupaya bergerak mengalir menuruti perintah narasi yang berada dalam ruang pikirannya, sampai pada titiknya benda itu mungkin dirasa tak mampu mengekpresikan narasinya yang kemudian disusul tubuh untuk cepat menangkap rajutan dramatic narasi sehingga tercipta estafet media diantara kedua instrument yakni benda simbolik dan tubuh. Lalu muncul pertanyaan dari pengulas, mungkinkah itu suatu sikap bijak pengontrol kondisi dan situasi karya yang mungkin kontrol diri performer itu sendiri, supaya ruang karya itu tetap berjalan sesuai wacana yang disiratkan pada pikiran dan rasa? Atau ada entitas lain diluar diri performer itu sendiri yang membuat suatu perintah yang diamini oleh tubuh performer sebagai wujud baktinya?
Jika pembahasan sebelumnya pada media tubuh dan benda simbolik, paragraf ini mencoba menjabarkan media teknologi pada karya itu yakni kamera.
Teknik pengambilan gambar bergeraknya tidak ada pemotongan, artinya video itu utuh direkam sekali pengambilan atau biasanya pengulas mendengar sebutan itu dengan istilah OTG(One Take Good), dan juga faktanya saat proses pengambilan gambar ada suara adzan yang meresahkan kameramen sebagai suatu yang fatal atau bocor karena mungkin dirasa tidak ada dalam akumulasi narasi saat ruang diskusi, namun hal itu malah dijadikan kesempurnaan bagi inisiator karya yang diyakini bahwa suara adzan itu akan menjadi satu-kesatuan dalam karya yang direkam. Argumen itu disusun dari hasil bincang antar pengulas dan pengkarya saat di kontrakan pengkarya.
(Temu Bincang, kontrakan david, mulai jam 22.37-menjelang subuh, selasa, 181022).
Karya video art itu juga dibumbuhi dengan backsound suara pesawat terbang seakan sedang berkoordinasi dengan partner-nya serta suara air yang terdengar deras saat coba didengarkan dengan detil. Awalan video dibuka dengan suntingan gambar langit san daun pohon yang mengisi pinggir gambar lalu di akhiri dengan gambar dua kaki performer, topi baret warna merah diam diatas permukaan alas panggung, tiga pesawat kertas bercorak jatuhan air warna merah serta benang warna merah yang sepintas tampak melilit bagian kaki salah satu performer.
Mungkin pengulas ingin berasumsi bahwa ada kenaifan dalam karya tersebut, hal itu juga bisa disadari pada kehadiran objek benda yang dipilih pengkarya untuk mewakili simbol pada beberapa pecahan narasinya. Katakanlah, kehadiran pesawat kertas itu sendiri yang dikenal umu sebagai mainan sederhana dari material kertas, namun ketika pesawat kertas itu hadir dalam kesatuan karya tersebut, ada peletakan makna tragis pada benda itu, sehingga pengulas berasumsi ada keganjalan yang dibahasakan secara sarkas yaitu naif. Mungkin pengkarya juga tidak ingin langsung menggunakan verbalitas bahasa supaya manusia mengalami katarsis yang akan sejalan dengan proses reflektif pada manusia itu sendiri, meminjam bahasa deskripsi pengkarya bahwa pengkarya secara disadari ataupun tidak ingin mengajak untuk introspeksi diri.
Ironinya, fakta naif itu cepat ditambali oleh pengkarya dengan kebijaksanaannya dalam berkarya. Kemunculan suara adzan yang dirasa menjadi distorsif oleh kameramen, malahan diselesaikan dengan tidak rekam ulang karna pengkarya mengamini momentum energisitas tidak akan sama atau serasa bahkan tidak seserius tampil pada video sebelumnya. Sehingga, pengkarya akan mengambil apapun resiko dalam karya tersebut, juga pengkarya merasa bahwa tidak hanya kompleksitas tubuh manusia dan teknologi saja yang sedang bersinergi, alampun ikut andil dalam konstruksi karya tersebut.
PENUTUP
karya ini dirasa mempunyai kompleksitas bumbu yang beragam dan unik bagi pengulas, sehingga karya ini dipilih sebagai bahan ulasan. Pengulas meyakini bahwa tidak ada yang keliru dalam metodologis pilihan pengkarya dan mungkin ulasan ini tidak mengarah pada titik apapun atau berupaya untuk tidak mendoktrin para pembaca. Sehingga ulasan ini sekadar bacaan dari pengulas pada karya video art berjudul “Pulang” yang didalangi oleh David Fernandez.
Pengkarya bagi pandangan subjektif pengulas mempunyai antusias yang tinggi pada kesenian dan kebudayaan, maka pengulas menawarkan sebuah tantangan pada pengkarya untuk menemukan pola dan formula keseniannya. Walaupun pengkarya tidak bisa dipisahkan oleh metode ketubuhan yakni butoh, namun sadari butoh tetap milik jepang. Pengulas berharap ada kajian mendalam oleh pengkarya untuk menelisik lebih jauh pada kesadaran lokalitas nusantara karena secara geografis, pengkarya sedang menempati dan menikmatinya dan tidak melupakan akar tanah baik itu ditangkap badaniyah maupun rohaniyah.
Pengulas  : Pupuh Romansa
Ruang & Waktu  : Kos Pak Har, 22.43 WIB, Rabu, 19 Oktober 2022. 
BACA JUGA :  Hate Comment terhadap Perempuan Penggemar K-Pop: Sebuah Kajian Feminisme