Voxnesia, Jakarta – Menyikapi hasil survei lembaga Poltracking Indonesia, Kamis 22 Desember 2022 yang menunjukkan Partai Amanat Nasional (PAN) meraih hasil elektabilitas 4,1 %(persen). Dimana berbanding terbalik dengan Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Minggu 18 Desember 2022 yang hanya menempatkan Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 1,7 persen.
Politisi Muda PAN Syafrudin Budiman SIP menilai bahwa hasil survei lembaga Poltracking Indonesia tersebut masih bersifat objektif dan independen di tempatkan lolos ambang batas atau Parlementary Threshold (PT). Mengingat PAN adalah partai besar dan partai yang memiliki basis pemilih Islam Modern dan Nasionalis Inklusif yang cukup besar di Indonesia.
“PAN memang lahir dari basis Islam Modern dan Nasionalis Inklusif sehingga dari pemilu ke pemilu PAN selalu berada di tengah. Yang mana hasilnya mencapai 6,5 persen sampai 8 persen jika dihitung suara atau perolehan kursi parlemen,” kata Syafrudin Budiman SIP di Jakarta, Senin (26/12/2022).
Jadi kata Gus Din sapaan akrabnya, jika ada yang menempatkan Survei Partai Politik PAN dibawah Perindo itu dipastikan tidak memiliki akurasi dan presisi. Ia menilai lembaga survei tersebut kayak SMRC yang menempatkan PAN 1,7 persen adalah framing politik dan pesanan bohir.
“Mana ada teori dan analisa politik yang menempatkan partai baru mengalahkan PAN, kecuali partai berbasis militer dan pecahan Partai Golkar. Gerindra dan Nasdem besar karena sebelumnya memang memiliki basis yang jelas. Partai Hanura saja 3 kali pemilu di bawah PAN,” tukasnya.
Sebagaimana hasil Rakernas III PAN 27 September 2022 di Ritz-Carlton Hotel Jakarta Pusat diputuskan PAN target 12 persen atau 65 Kursi DPR RI. Bahkan dibahas bahwa target saksi PAN selesai sekitar 1 juta saksi pada Januari – Februari 2023.
“PAN hari ini partai yang sangat kuat dan memiliki kader-kader muda progresif yang tiap hari turun ke lapangan. Jadi survei Poltracking Indonesia adalah wajah karakter PAN, sebab tidak semua warga modern dan terdidik terlalu vulgar atau rahasia dalam pilihan, sehingga mereka cenderung menjawab tidak tahu,” ungkap Gus Din.
Pada survei nasional lembaga Poltracking Indonesia menempatkan Partai berlambang banteng moncong putih atau PDI Perjuangan mendapatkan perolehan suara responden sebesar 23,2 persen.
“Disusul kedua, Gerindra 11,1 persen. Partai Golkar 9,3 persen, Partai Nasdem 6,9 persen, Partai Demokrat 6,7 persen,” kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda dalam rilis survei yang ditayangkan di YouTube Poltracking TV, Kamis (22/12/2022).
Selanjutnya, posisi keenam diduduki oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan elektabilitas 5,6 persen. Di posisi tujuh, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan elektabilitasnya 5,3 persen. Kemudian di posisi delapan ada Partai Amanat Nasional (PAN) yang elektabilitasnya 4,1 persen.
Dua posisi terakhir yaitu Partai Perindo dengan elektabilitas 2,8 persen dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2 persen.
Partai politik lainnya memiliki elektabilitas di bawah 1 persen, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) 0,8 persen, Partai Hanura 0,7 persen, Gelora 0,7 persen, Partai Buruh 0,4 persen, Partai Garuda 0,3 persen, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 0,2 persen, Partai Ummat dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) 0 persen.
Sementara itu, responden yang belum menentukan pilihan partai politik atau menjawab tidak tahu sebesar 19,9 persen. Survei Poltracking kali ini dilaksanakan dengan wawancara tatap muka pada 21-27 November 2022 terhadap 1.220 responden.
Metode yang digunakan mengambil sampel yaitu multistage random sampling. Adapun margin of eror survei lebih kurang 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Gus Din: Survei SMRC Tidak Memiliki Akurasi dan Presisi
Sebelumnya Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melalui Direktur Riset Deni Irvani merilis survei yang ditayangkan di YouTube SMRC, Minggu (18/12/2022). Dimana Jajak pendapat ini dilakukan pada 3-11 Desember 2022 dengan total sampel 1.029 responden. Survei dilakukan dengan memilih sampel secara acak dengan metode multistage random sampling.
Salah satu hasil survei tersebut menempatkan Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 1,7 % dan paling teratas adalah PDI Perjuangan (PDIP) 24,1 %. Hasil survei ini dinilai gamang dan lemah oleh Politisi Muda PAN Syafrudin Budiman. Sebab katanya, okupansi random sampling surveinya tidak berdasar teori dan metodologi penelitian kualitatif dan hanya kuantitatif semata.
“Hasil survei SMRC gamang dan lemah hasilnya. Bukan untuk meragukan hasilnya, namun secara teori dan metodologi-nya, apakah menggunakan deskriptif kualitatif atau deskriptif kuantitatif saja. Atau kedua-duanya dipakai. Jadi kalau PAN cuman 1,7 % kelihatan aneh,” ujar Gus Din sapaan akrab Syafrudin Budiman SIP kepada Media, Senin malam (19/12/2022) di Jakarta.
Menurutnya, survei SMRC harus dijelaskan kuesioner-nya siapa saja, pemetaan okupansi-nya apa saja dan lokasi sampling dimana saja. Jangan sampai hanya berdasarkan survei-survei saporadis tanpa landasan teori dan metodologi penelitian ilmiah yang rasional dan empiris.
“Kita bisa lihat dalam sejarah survei jelang Pemilu, PAN selalu dilemahkan secara teori. Akan tetapi angka faktual yang empiris dan rasional malah meraih angka signifikan jauh banget dari hasil survei. Kenapa bisa terjadi pada PAN, karena survei SMRC akurasi dan presisinya lemah,” terang Gus Din lulusan Sarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) ini.
Lanjut Gus Din, tukang survei selalu berkelit di margin error atau pada kuesioner undecided voter (massa mengambang/tidak tahu). Katanya, SMRC bilang yang menjawab tidak tahu sebesar 20,9 persen.
“Jadi sudah dipastikan kualitas kuesioner-nya lemah dan gamang. Bahkan, analisa surveinya tidak presisi, sehingga akurasinya diragukan. Andai okupansi responden jelas, dari sisi lokasi, pekerjaan, usia, penghasilan, gender, pemilih pemula atau tidak. Tentu landasannya bukan semata berbasis deskripsi kuantitatif tetapi deskripsi kuantitatif,” jelas Gus Din yang berprofesi Konsultan Media dan Politik ini.
Terakhir kata Gus Din, bentuk rilis sepihak dalam bentuk siaran YouTube dari SMRC merupakan bentuk lemahnya transparansi survei. Dimana, pihak media atau pers tidak bisa bertanya secara detail kualitas survei SMRC tersebut dan bukan framing politik belaka.
“Dari pola rilis surveinya saja tidak ada dialog dan keterbukaan. Bagaimana publik bisa percaya survei tersebut, yang terus meleset dari Pemilu ke Pemilu ketika menilai PAN sebagai hasil penelitian. Saya yakin ini hanya survei framing politik saja,” pungkas Bacaleg Muda PAN DPR RI Dapil DKI Jakarta I Jakarta Timur ini. (red)