Voxnesia, Jakarta – Sosok Raden Ajeng (RA) Kartini yang hari kelahirannya diperingati setiap tanggal 21 April telah menunjukkan peran perempuan sebagai aktor penting dalam pembiasaan berpikir kritis di masyarakat. Lewat surat-suratnya dalam buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini berhasil merombak pola pikir patriaki masa itu yang berdampak signifikan kepada akses pendidikan kaum perempuan Indonesia.
Hal tersebut menjadi intisari dari webinar internasional Hari Kartini bertema “Agama, Perempuan, dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya” yang diadakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Institut Leimena, serta didukung oleh Templeton Religion Trust pada Kamis (21/4/2022) malam.
“Kartini memimpin perubahan bagi perempuan Indonesia, pembebasan perempuan dari belenggu tradisi yang merugikan, membuka cakrawala urgensi pendidikan bagi perempuan,” kata Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr. Inayah Rohmaniyah.
Inayah mengatakan RA Kartini memiliki keberanian untuk melakukan kritik sosial terhadap budaya atau masyarakatnya sendiri. Kartini berargumen bahwa pendidikan adalah cara untuk meningkatkan kapasitas diri perempuan, melepaskan diri dari perjodohan, bahkan mempersiapkan diri sebagai seorang ibu.
Menurut Inayah, agama Islam juga mengakomodasi prinsip kesetaraan gender antara lain menyatakan laki-laki dan perempuan sama-sama hamba dan khalifah Allah serta sama-sama menerima perjanjian priomordial, keduanya terlibat aktif dalam persitiwa drama kosmis, dan berpotensi sama dalam meraih prestasi. Nilai-nilai universal Islam juga memberi ruang atas kesetaraan laki-laki dan perempuan yaitu tauhid, musawa (kesetaraan), ukhuwah (persaudaraan), ‘Adalah (keadilan), dan tawasut (moderat).
“Namun, muncul pemahaman yang tidak menyiratkan nilai-nilai dasar tersebut sehingga banyak problem sosial terjadi dalam masyarakat seperti kekerasan seksual, angka kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi, kekerasan dan kebijakan diskriminatif atas nama agama, dan pandangan kultur yang diskriminatif dengan justifikasi atau paham agama,” kata Inayah.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan pemikiran RA Kartini yang masih muda adalah terobosan besar di tengah konteks masyarakat yang membatasi pendidikan untuk perempuan. Pola pikir kritis RA Kartini tidak dapat dipisahkan dari pergaulan ‘lintas budaya’ sejak dini. Hingga usia 12 tahun, Kartini menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Eropa yang diutamakan untuk orang-orang Eropa. Dia menggunakan bahasa Belanda dalam menulis surat kepada para sahabat-sahabat penanya yang juga orang-orang Eropa.
“Sangat mungkin surat menyurat yang intens dengan orang-orang berlatar belakang agama dan budaya yang berbeda berpengaruh besar dalam menghasilkan pemikiran-pemikirannya yang maju, terbuka, dan kritis, termasuk dalam pemahaman atau literasi keagamaannya,” kata Matius.
*Partisipasi Rendah*
Wakil Presiden Forum Lintas Agama G20, Dr. Katherine Marshall, mengatakan partisipasi perempuan dalam agenda global masih sangat rendah seperti salah satu tinjauan tahun 2019 bahwa hanya 3% mediator, 4% penandatanganan, dan 13% negosiator merupakan perempuan. “Peran perempuan bagaikan tidak kasat mata karena perempuan juga berkutat juga dengan berbagai macam ekspektasi sosial budaya,” kata Katherine.
Dari sisi pendidikan, aspek kesetaraan dan keadilan juga masih menjadi persoalan. Tingkat putus sekolah pada perempuan justru meningkat selama masa pandemi Covid-19. “Dari pengalaman kami, kemungkinan besar perempuan-perempuan yang berhenti sekolah tidak akan melanjutkan sekolah walaupun pandemi sudah berlalu,” ujar Katherine.
Sekjen Asian Muslim Action Network (Aman), Dwi Rubiyanti Kholifah, mengatakan mengatakan usaha menyebarkan Islam rahmatan lil’alamin dilakukan lewat dua pendekatan penting yaitu perempuan dan dialog. Menurutnya, perempuan memiliki kodrat unik karena secara efektif mampu menjadi agen transformasi konflik. Dia mencontohkan program Sekolah Perempuan Perdamaian yang dijalankannya bersama Pendeta Roswuri dari Poso dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif untuk pengembangan pertanian organik. Sekolah tersebut sejauh ini melibatkan lebih dari 4.000 perempuan lintas iman di 41 desa/kelurahan di Indonesia.
“Kebun organik menjadi medium untuk mengurai dendam, prasangka, dan rasa tidak percaya Muslim dan Kristen yang digagas dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri,” kata aktivis perempuan dan perdamaian yang akrab disapa Ruby Kholifah.
Ruby juga mempopulerkan reflective structured dialogue (RSD) kepada para ulama perempuan. Metode RSD, yang didapatkannya dari pelatihan di Romania oleh Mediators Beyond Boarder International, dipakai sebagai upaya reintegrasi sosial untuk 40 mantan pendukung ISIS. Pada 2018-2019, Ruby bersama para ulama perempuan dari berbagai mazhab seperti Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Salafi, dan Wahabi juga saling berdialog terhadap isu-isu kontroversial seperti pernikahan anak, poligami, mengucapkan salam kepada non-Muslim, dan keberagaman.
“Saat ini pendekatan dialog di sebuah kelurahan di Kabupaten Depok dicoba untuk mendukung proses reintegrasi sosial para pendukung ISIS yang kembali dari Suriah dan Irak,” ujar Ruby.
Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Pendeta Mery LY Kolimon, mengatakan Reformasi Protestan (mulai 1517) merekonstruksi identitas perempuan sebagai setara dengan laki-laki termasuk kepemimpinan. “Jika dalam agama suku, peran keagamaan perempuan sangat terbatas, maka Kekristenan memberikan sebuah identitas baru sebagai yang setara untuk berelasi dengan Yang Ilahi,” katanya.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr.Phil. Al Makin mengatakan berkah keragaman Indonesia seharusnya dipahami sebagai modal dasar untuk mencapai kemajuan. Sementara itu, Senior Research Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, mengatakan pelibatan perempuan di area publik masih sangat minim. Padahal, perempuan memainkan peran penting dalam keberlanjutan pembangunan dan perdamaian. (IL/Chr)