TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Hate Comment terhadap Perempuan Penggemar K-Pop: Sebuah Kajian Feminisme

Penulis: Amara Nindya Achmad P
Mahasiswi Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia (UI) dan Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pamulang

 

Voxnesia, Opini – Siapa saja berhak untuk menyukai musik di muka bumi ini, termasuk kepada penggemar Korean Pop atau disingkat sebagai K-pop. Aliran musik K-pop memang sudah menguasai dunia permusikan dan identik dengan penggemar yang setia kepada mereka. Industri musik K-pop yang hingga saat ini memiliki banyak penggemar dari berbagai penjuru dunia.

Meskipun jumlah penggemar musik K-pop sangat banyak, tetapi juga tidak sedikit yang tidak menyukai atau berkomentar buruk terhadap para pelaku seni musik K-pop maupun kepada fans mereka. Karena sebagian besar fans K-pop adalah perempuan, maka seringkali perempuan penggemar K-pop menjadi target bagi mereka yang tidak menyukai K-pop.

BACA JUGA :  Waduh, Ada Apa Ini, Tiba-Tiba 9 Desa Disurati Polda Jatim

Tidak sedikit kasus ujaran kebencian yang diterima oleh perempuan penggemar musik K-pop ini. Mulai dari kalimat yang mencaci penyanyi idola mereka hingga kata-kata yang merujuk pada pribadi fans tersebut. Stigmatisasi terhadap perempuan penggemar K-pop sudah tidak asing lagi bagi kita semua dimana perempuan penggemar K-pop memiliki citra yang buruk serta identik dengan rendah kemampuan berpikir dan hanya menjadi ‘penyembah’ penyanyi K-pop.

Lambat laun, ujaran kebencian yang diterima oleh penggemar K-pop tidak lagi sekadar tuaian kontra saja namun merujuk kepada tindak kekerasan berbasis gender dimana perempuan penggemar K-pop menjadi objek kekerasan tersebut dengan tujuan untuk balas dendam atau melampiaskan kemarahan. Berbagai ancaman buruk yang dapat membahayakan diri penggemar tersebut.

Pada tahun 2021 lalu, seorang penggemar musik K-pop asal Indonesia melakukan speak up terhadap kekerasan yang dialaminya karena ia adalah penggemar K-pop. Penggemar ini (JF) menerima ujaran kebencian dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan informasi hoax dan seolah-olah memperburuk citra fans K-pop di media sosial. Ia melawan hoax tersebut yang berakhir pada penyerangan kembali kepada dirinya yang membawa kehidupan pribadinya di luar konteks perdebatan tersebut.

BACA JUGA :  Hal Penting Harus Diketahui Saat Lebaran

Kondisi ini kemudian dapat dilihat dari kacamata feminisme. Feminisme pada dasarnya adalah sebuah teori dan kajian tentang gender yang menjunjung tinggi kesetaraan umat manusia, yaitu antara perempuan dan laki-laki. Teori ini berakar dari budaya patriarki yang mengakar dalam kehidupan masyarakat yang membawa perempuan pada tempat yang rendah. Stigmatisasi negatif terhadap perempuan penggemar K-pop yang identik dengan fanatis, tidak cerdas, dan memiliki IQ rendah menunjukkan bahwa pemikiran konvensional dan patriarkis tersebut masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Anggapan terkait ‘perempuan lebih rendah’ dicerminkan melalui ujaran kebencian yang diterima oleh perempuan penggemar K-pop ini.

BACA JUGA :  Menghadapi Momentum Hari Raya Idul Fitri

Berdasarkan kacamata feminis, kekerasan yang diterima oleh para penggemar perempuan K-pop merupakan hasil sistem patriarki dimana perempuan dianggap sebagai pihak yang rendah dan dipandang sebelah mata. Pandangan yang seksis ini membatasi kesempatan perempuan untuk mengekspresikan dirinya dengan bebas. Sebagai bentuk penolakan terhadap kebebasan berekspresi perempuan tersebut, muncullah kekerasan yang digunakan sebagai alat untuk menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, perempuan sebagai pihak yang memiliki kerentanan terhadap berbagai bentuk kekerasan sehingga dalam kasus kekerasan berbasis gender terhadap penggemar K-pop juga hampir seluruhnya ditujukan kepada perempuan.